Monday, April 25, 2011

Bencana Masa Lampau Di Indonesia

Jakarta :  Selama delapan bulan, Tim Studi Bencana  Katastropika Purba mencoba mencari dan meneliti fakta dan data bencana  di abad modern ataupun zaman purba yang katastropik atau dampaknya  menghilangkan peradaban.
Seperti terjadi di Nanggroe Aceh Darussalam, 26  Desember 2004 silam, adalah megatsunami yang menghancurkan sebagian  peradaban di Tanah Rencong. Demikian rilis yang diterima Liputan6.com,  Ahad (24/4), dari Wisnu Agung Prasetya, asisten Staf Khusus Tim Studi  Bencana Katastropik Purba.
Berdasarkan penelitian Tim Studi  Bencana Katastropika Purba, ternyata di Aceh teridentifikasi kemudian  ada Desa Ie Beuna. Artinya, ombak besar bergulung-gulung. Ini berarti  pula pernah ada tsunami di Aceh. Bahkan, tim Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia atau LIPI menemukan bangunan kuno di laut Aceh. Dan melalui ekskavasi  geologi berhasil membuktikan 1.400 tahun lampau
pernah terjadi mega  tsunami.
Warga Simeulue mengenal smong atau tsunami pada 1907,  sehingga korban sedikit saat tsunami 2004. Masyarakat Yogyakarta  dikejutkan gempa pada 2006 yang merusak dan menimbulkan korban. Padahal  1835 pernah terjadi gempa yang lebih besar. Di sini menunjukkan betapa  lemahnya ingatan masyarakat Indonesia terhadap bencana. Padahal, gempa  atau gunung berapi bisa dipastikan akan mengalami pengulangan: The Past  is the Key of Future.
Untuk diketahui pada 1814, Sir Thomas Stamford Raffles (Gubernur Jenderal Kolonial Inggris di Jawa, 1811-1816), menemukan satu bukti bencana katastropik purba  akibat letusan gunung api di semak belukar, yaitu Candi Borobudur. Data  sejarah menunjukkan pernah ada letusan Merapi sekitar era 1000-an. Bisa  dibayangkan, peradaban yang terkubur itu. Belum lagi jika menengok  perubahan
iklim yang diakibatkan letusan Toba di Pulau Sumatra, 75 ribu  tahun lalu.
Bagaimana dengan Jakarta Hasil pemantauan global  positioning system (GPS) dan pengukuran deformasi serta disandingkan  dengan data historis, juga mengagetkan hasilnya. Ada potensi 8,5 skala  Richter di Selat Sunda. Ini juga pengulangan 1906, 1856, 1833, dan 1699,  serta gempa-gempa kecil yang terasa sampai Jakarta.
Bertitik  tolak dari itu, tim mencoba mendapatkan bukti otentik sedimentasi atau  data lainnya dengan segera melakukan penelitian intensif terhadap temuan  Candi Jiwa di Bekasi, Jawa Barat.
"Kita  senang terhadap temuan peradaban itu, tetapi juga harus ditemukan  mengapa dan kapan candi itu terkubur. Karena jarak dengan Jakarta tidak  terlalu jauh. Apakah tertutup karena vulkano atau mega tsunami. Kita  menyambut baik langkah Foke (Gubernur Fauzi Bowo)  yang segera membuat peta mikrozonasi dan building code. Karena ini juga  rekomendasi tim sembilan peta gempa yang melihat ada kenaikan 0,3 g di  batuan dasar. Sama seperti Aceh, Sumbar, Bengkulu
Banten, Jabar, Jatim, Jateng dan Yogya. Kita berupaya secara scientific  mengurangi risiko bencana dengan menemukan gempa purbanya. Apa yang  terjadi di Jepang menjadi pelajaran bersama. Masyarakat harus bahu-membahu membantu Pemda,  BNPB, BMKG dan lain-lain, tidak perlu panik," urai Wisnu Agung.
Terkait  rencana pembangunan jembatan Selat Sunda, temuan ini sangat penting  agar jembatan tersebut disiapkan untuk tahan gempa di atas besaran yang  potensi itu. Dengan begitu, pembangunan harus terus jalan.
Pada  kejadian letusan katastropik Toba, diperkirakan terjadi pemusnahan  massal  dari populasi makhluk hidup di seluruh dunia, termasuk manusia.  Hanya sebagian kecil yang dapat bertahan hidup. Meskipun demikian, tidak  ada data yang cukup untuk mengetahui dengan jelas apa yang terjadi pada  peradaban manusia sebelum dan sesudah letusan Toba.
Ilmu  pengetahuan hanya tahu bahwa paling tidak sejak sekitar 90.000-100.000 tahun lampau, bumi sudah dihuni oleh makhluk berakal dan mengenal Tuhan.  Dan sampai saat ini para ilmuwan sedunia percaya bahwa sampai sekitar  10.000 tahun lalu manusia masih hidup di zaman batu, alias hidup di alam, di hutan-hutan dan gua-gua seperti hewan.
Adapun  letusan gunung api katastropik lainnya adalah letusan Gunung Krakatau  purba. Catatan mengenai letusan Krakatau purba yang diambil dari sebuah  teks Jawa Kuno yang berjudul Pustaka Raja Parwa yang diperkirakan  berasal dari tahun 416 Masehi.
Isinya antara lain menyatakan: "Ada  suara guntur yang menggelegar berasal dari Gunung Batuwara (Krakatau).  Ada pula guncangan bumi yang menakutkan, kegelapan  total, petir dan  kilat. Kemudian datanglah badai angin dan hujan yang mengerikan dan  seluruh badai menggelapkan seluruh dunia. Sebuah banjir besar datang  dari Gunung Batuwara dan mengalir ke timur menuju Gunung Kamula. Ketika  air menenggelamkannya, Pulau Jawa terpisah menjadi dua, menciptakan  Pulau Sumatra."(ANS)

No comments:

Post a Comment